Resensi Novel Laut Bercerita

 


Judul Buku                  : Laut Bercerita

Penulis                         : Leila S. Chudori

Penerbit                       : PT Gramedia

Tahun Terbit               : 2017

Jumlah Halaman         : x + 397

 

Laut Bercerita merupakan novel karangan Leila S Chudori yang berlatarkan Indonesia di masa Orde Baru. Ia mengaku bahwa ide untuk menulis novel ini muncul pada tahun 2008 saat ia meminta Nezar Patria untuk menuliskan pengalamannya saat diculik pada bulan Maret 1998. Lima tahun kemudian, Leila mulai melakukan wawancara dengan berbagai narasumber selain Nezar. Pada tahun 2017 akhirnya novel Laut Bercerita berhasil diterbitkan dan tiga tahun berselang, novel tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The Sea Speaks His Name.

 

Novel ini terbagi menjadi dua sudut pandang yaitu sudut pandang Biru Laut dan Asmara Jati. Biru Laut atau yang biasa dipanggil Laut merupakan seorang mahasiswa dan juga aktivis. Ia dan teman-temannya membentuk organisasi bernama winatra dan wirasena. Dalam organisasi tersebut mereka sering mendiskusikan karya-karya sastra terutama karya yang dilarang pada saat itu seperti karya Pramoedya Ananta Toer dan W.S. Rendra. Selain itu mereka juga sering melakukan aksi yang mereka anggap dapat menciptakan Indonesia yang lebih baik dan lebih demokratis. Salah satu aksi yang mereka lakukan adalah Aksi Tanam Jagung Blangguan yang bertujuan untuk membantu penduduk setempat supaya lahan mereka tidak digusur oleh pemerintah. Sayangnya, aksi yang akan mereka lakukan gagal terlaksana karena telah diketahui oleh para intel. Mereka berhasil melarikan diri dengan berpencar menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil, tetapi Laut dan kedua temannya tertangkap dan dibawa ke suatu tempat seperti markas tentara. Mereka ditahan selama beberapa hari dan mengalami penyiksaan yang keji.

 

Beberapa tahun kemudian, keadaan Indonesia semakin memanas. Organisasi yang mereka dirikan dilarang dan dianggap berbahaya bagi pemerintah yang mengakibatkan Laut beserta  teman-temannya menjadi buronan. Satu-persatu teman-teman Laut mulai menghilang entah kemana dan pada suatu hari Laut juga akhirnya menghilang. Mereka semua mengalami penculikan dan penyekapan. Saat masa penyekapan tersebut, tak jarang mereka mengalami penyiksaan seperti dipukul, digantung, diestrum, dan lain-lain. Setelah berhari-hari mengalami penyiksaan, beberapa dari mereka dibebaskan. Namun, terdapat 13 aktivis yang tidak kunjung kembali dan Laut merupakan salah satu dari mereka.

 

Sudut pandang kedua yaitu sudut pandang Asmara Jati yang merupakan adik kandung dari Laut. Pada bagian ini menceritakan bagaimana nasib keluarga, sahabat, dan kekasih dari mereka hilang. Asmara adalah seseorang yang sangat realistis, ia tak berharap banyak bahwa kakaknya masih hidup, tetapi ia terus melakukan upaya untuk menemukannya. Di samping itu, ia harus menghadapi kedua orang tuanya yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa kakaknya telah hilang bertahun-tahun mungkin sudah tidak bernyawa. Bapak dan ibunya menganggap bahwa Laut masih tetap ada di samping mereka. Mereka bahkan tetap menyiapkan piring untuk Laut di setiap waktu makan dan mereka juga akan menunggu selama 15 menit, berharap bahwa Laut akan datang.

 

Penulis sangat berhasil dalam menggambarkan latar suasana pada novel ini. Pembaca dapat merasakan bagaimana tegangnya Laut dan teman-temannya saat merasa diikuti intel, bagaimana takutnya mereka saat akan mengalami penyiksaan, bagaimana sakit hatinya Laut saat menyadari bahwa salah satu temannya adalah penghianat, dan tentunya bagaimana rasa sedih yang dialami oleh keluarga yang ditinggalkan. Novel ini juga mengajarkan hal tentang perjuangan, persahabatan, dan kekeluargaan. Namun, terdapat beberapa kata kasar dan adegan yang terlalu sadis sehingga novel ini tidak direkomendasikan untuk anak di bawah umur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar