Menangis Bukan Berarti Lemah

  Jagat Suralaya adalah laki-laki paling sabar yang pernah Prima temui. Jagat tidak akan mengeluh saat setengah porsi menu yang ia pesan Prima ambil tanpa permisi. Jagat tidak memarahi Prima saat gitar yang laki-laki itu beli satu minggu sebelumnya tersenggol dan jatuh, nyaris rusak apabila yang dihantam gitar tersebut bukanlah karpet bulu tebal.

Kepergian orang tua mereka tiga tahun lalu memang memaksa Jagat untuk dewasa. Membuatnya menjadi tulang punggung serta harapan Prima. Menjadi tempat satu-satunya Prima mengeluh mengenai nilai matematiknya yang selalu di bawah rata-rata, mengeluh mengenai pertemanannya yang entah mengapa menjadi rumit semenjak memasuki fase SMA, atau sekedar mengeluh mengenai tukang ojek yang tidak mencuci jaketnya selama satu bulan.

Prima menjadikan Jagat dunianya. Tanpa pernah ia ketahui Jagat nyaris terjaga setiap malam. Jagat akan berdiri di balkon kamar, menyesap secangkir kopi yang tercampur bau nikotin di asbak. Turntable di kamarnya akan memutar musik klasik yang sejujurnya terdengar menyayat hati. Lalu matanya akan memejam, otaknya mulai bekerja, dan hatinya akan meyakinkan diri bahwa semua akan terlalui.

Selama ini Jagat memang tidak pernah menampakkan kelemahannya di hadapan Prima. Jagat akan selalu terlihat baik-baik saja dengan wajah datarnya yang sesekali tersenyum saat Prima mengeluarkan candaan. Prima tidak pernah melihat Jagat menangis lagi setelah kakak laki-lakinya itu menginjak usia 16 tahun, tepat saat kedua orang tua mereka meninggal dunia.

Prima pernah bertanya kepada teman-teman Jagat, “Bang Jagat pernah nangis nggak sih?”

Lalu laki-laki berambut keriting yang Prima ketahui merupakan sahabat Jagat menjawab, “Boro-boro nangis, Prim. Senyum aja jarang dia.” 

Pernah tuh si Jagat nangis karena makan seblak level 6 hahaha.” Hilmi, sepupu sekaligus teman Jagat yang saat itu kebetulan sedang ikut berkumpul menyahut.

Sejak saat itu, Prima menyimpulkan bahwa Jagat adalah orang yang tidak bisa menangis. Namun, pada kenyataannya, Jagat bukan tidak bisa. Jagat hanya sukar. Jagat malu apabila dirinya terlihat lemah di hadapan orang lain. Apalagi di hadapan Prima yang selalu menjadikan Jagat panutan serta tumpuannya.

Namun, untuk hari ini, pertama kalinya setelah tiga tahun lalu Jagat kembali menangis.

“Denger nggak Abang ngomong apa?” Jagat bertanya, suaranya terdengar parau dan lemah.

Prima tertegun. Ia bingung harus berbuat apa. Baiklah, salahkan dirinya karena memancing emosi Jagat dan berujung saling berteriak satu sama lain. Lalu ada suatu ketika di mana Prima meneriaki Jagat, “Aku nggak butuh Abang yang nggak nganggap aku sebagai adiknya! Aku benci sama Abang!

Tepat setelah mulut mungil itu berteriak dengan suara bergetar, setetes air mata jatuh di pipi Jagat. Prima membencinya. Prima membenci Jagat.

“Prim… Abang bukannya nggak nganggap kamu sebagai adik Abang,” Jagat terdiam sebentar, “Abang cuma nggak mau kelihatan lemah di depan kamu.”

Prima masih diam. Ingatannya kembali mengingat Jagat yang ia lihat semalam. Rambutnya berantakan, dua bungkus rokok yang sudah kosong tergeletak di atas kasur, lalu Prima menangkap keberadaan Jagat di balkon sedang menghabiskan gelas kopi keduanya.

“Kenapa sih Abang nggak pernah cerita kalau Abang kesulitan? Aku ini adikmu, Bang. Aku nggak akan menilai kamu sebagai orang lemah kalau kamu nangis di depanku, aku tahu gimana kuatnya abang selama ini. Aku tahu seberapa keras Abang berjuang,” Prima menarik napasnya dalam-dalam, menahan diri untuk tidak ikut menangis, “kalau butuh bantuan ya bilang, Bang. Walaupun kelihatannya aku nggak meyakinkan, aku yakin aku bisa bantu Abang. Abang nggak perlu mikul semuanya sendirian. Abang masih punya Prima di sini.”

Ah, hancur sudah semua pertahanan Jagat malam ini.

Laki-laki dengan rambut yang mulai memanjang itu tertawa, masih dengan air matanya yang tidak kunjung berhenti. “Sejak kapan kamu jadi dewasa gini, Prim? Abang kalah nih kayaknya.”

Prima tidak menjawab perkataan Jagat. Tungkai jenjangnya langsung berjalan mendekati kakak laki-lakinya. Memeluk tubuh  yang lebih besar itu sedikit lama, membiarkan Jagat mengusap kepalanya lembut seperti yang biasa dilakukan sang ayah.

“Maafin Abang karena selama ini egois dan nggak mau cerita apa-apa sama kamu, Prim. Tapi kamu harus tahu kalau Abang itu orang yang paling sayang sama kamu setelah ayah dan bunda.”

Pelukan Prima mengerat, “Maafin Prima juga ya tadi udah bentak-bentak Abang. Serius aku nggak maksud!” Pelukannya terlepas. Dengan muka bersalahnya Prima berdiri di hadapan Jagat sambil mengangkat dua jari, membentuk simbol peace.

Jagat tersenyum simpul. Ia akui Prima kali ini benar. Kita tidak harus berpura-pura kuat disaat keadaan kita sedang tidak baik-baik saja. Kita tidak harus terlihat sempurna di depan semua orang. Menangis bukan berarti kita lemah, maka menangislah saat kedua mata kita memburam. Meminta bantuan orang lain bukan berarti kalah, karena terkadang beberapa hal dalam kehidupan hanya bisa dimenangkan bersama.  


Vanya Praba Wulandari (XI MIPA 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar