Rahasia Lilin Biru

 

            “Tapi kenapa, Kak?”

“Kamu tidak seharusnya tau, Arum. Jadi, apapun yang terjadi jangan pernah menyentuh atau mencari tau soal benda ini.”

Itu adalah percakapan antara aku dan kakak dua tahun lalu, tiga bulan sebelum kakak pamit pergi dari rumah dan tidak pernah kembali lagi, bagai hilang ditelan bumi.

Sejujurnya, kenapa? Kenapa kakak memilih untuk pergi? Apa dia sudah lelah mengurus adiknya yang cacat ini? Dua tahun lamanya aku terus menunggu dan mencarinya seperti orang bodoh, sampai aku menyadari bahwa kakak hanyalah seorang pengecut tak berperasaan yang hanya bisa kabur dari penderitaannya.

Aku terus mengutuk kakak dalam hati, terlebih pada saat-saat seperti ini. Desa kami sedari tadi diguyur hujan petir dan terjadi mati listrik. Dia pikir siapa satu-satunya orang yang paling aku butuhkan pada keadaan seperti ini? Aku yang harus mengandalkan kursi roda untuk bergerak tentu tidak bisa dengan mudah menjangkau lentera yang biasa disimpannya di atas lemari.

Hari semakin gelap. Sudah hampir lima belas menit aku terus mencoba meraih sebuah lentera di atas sana menggunakan sapu di tengah kegelapan. Aku menyerah. Pikiranku kemudian teralihkan kepada lilin berwarna biru milik ibu yang selalu dilarang kakak untuk kusentuh. Kakak selalu berusaha menyembunyikan lilin itu semenjak kepergian ibu. Lagi dan lagi, aku tidak tau menau alasan kakak melakukan hal itu. Tapi, sepertinya aku tetap bisa beristirahat dengan nyaman malam ini karena aku berhasil menemukan tempat di mana terakhir kakak mencoba menyembunyikan benda misterius itu dariku. Syukurlah.

Dua lilin berwarna biru pekat sudah menyala di kamarku. Lilin dengan warna apapun hanyalah lilin biasa, kan? Kuharap begitu. Tak ada cara lain lagi bagiku selain memanfaatkan lilin biru ini sebagai sumber penerangan malam ini.


.


            “Arum? Kenapa-”

            “Arum, sadarlah!”

            “Sudah aku tegaskan ratusan kali, jangan pernah menyentuh benda itu!”

           Suara yang sangat familiar berdengung mengusik tidurku. Itu dia, sosok yang tak pernah lagi aku jumpai keberadaannya selama bertahun-tahun.

        Aku mencoba membuka mata dengan tubuh yang terasa berat. Yang mengejutkan, aku tidak merasa terkejut dengan kehadiran kakak di sebelahku. Apalagi dengan raut gelisah dan peluh bercucuran menghiasi wajah kakak, semakin membuatnya terlihat seperti seorang pengecut

            “Apa yang kamu lakukan dengan lilin itu, Arum?” teriak kakak mengguncang tubuhku.

Tak ada yang mampu aku lakukan kecuali mengernyit kebingungan. Oh yang benar saja. Dua tahun dan ia kembali untuk mempermasalahkan hal ini?

        “Tidak, kamu tidak boleh di sini. Kamu harus pulang,” rasa takut seperti menyelimuti kakak. Sedangkan aku terdiam mencoba mencerna apa yang dimaksudnya.

            Kakak menarik tanganku bersegera keluar dari kamar, “kita harus pergi, Arum.”

            Tapi, sebentar. Kenapa aku bisa berjalan?

            Isi kepalaku penuh dengan beribu pertanyaan yang tak sanggup aku sampaikan sedangkan kakak terus menggandeng lenganku berusaha menuntun keluar dari rumah kami. Kedua kakiku bergerak dengan gesit mengalahkan jalan otakku saat ini. Sekujur badanku bergetar serasa ingin terjatuh begitu saja.

            “Jangan lengah, Arum. Ini bukan rumah kita.” Kata-kata kakak membuat langkahku spontan terhenti dan menepis genggamannya dari tanganku.

            “Sebenarnya apa yang kamu maksud dari tadi? Kenapa kakak tiba-tiba kembali dan berlagak seakan-akan tidak pernah terjadi apapun? Apa sesungguhnya arti dari omong kosongmu tentang lilin itu? Kenapa baru sekarang aku bisa mengetahui rasanya memiliki sepasang kaki? Kenapa?!”

            Tubuhku lemas dan mataku memanas, menunggu jawaban masuk akal yang ingin kudengar dari mulut kakak.

            Kakak, ia menangis.

            “Arum, maafkan aku.”

            “Lilin biru. Lilin itu yang membuat kedua kakimu lumpuh, Arum.”

            Aku kembali mengernyitkan dahi untuk kesekian kalinya, “jangan konyol, Kak. Aku tidak pernah memiliki luka bakar apapun.”

            “Tidak, dengarkan aku. Tolong percaya padaku,” kakak mengusap pipi basahnya meyakinkanku.

“Ibu.. tidak, wanita yang selama ini kita ketahui sebagai ibu, dia adalah seorang gadis yang mengadopsi dua bayi perempuan dari sebuah panti asuhan 16 tahun yang lalu. Dua anak perempuan itu adalah kita, Arum.”

            Di luar nalar. Adopsi? Jawaban yang kakak berikan sama sekali tidak terpikirkan oleh akal sehat siapapun.

            “Lalu, korelasinya dengan lilin itu?” jawabku gemetar.

            “Benda itu yang mendorong ibu mengadopsi kita berdua. Menurutmu, kenapa ibu memilih untuk mengadopsi dua anak dan bukan hanya satu?”

            “Dua orang tumbal. Itu syaratnya.”

            Aku terus dibuat terdiam oleh ucapan kakak yang terdengar tanpa ragu, seolah sudah menyimpan ini semua sejak lama.

            Kakak memegang kedua bahuku, “ingat alasan ibu meninggal?”

“Kanker,” ujarku.

“Ya, penyakit mematikan itu. Kanker paru-paru.”

“Menurut dokter, ibu diperkirakan hanya bisa bertahan hidup sampai di tahun yang sama saat ibu mengangkat kita menjadi anaknya.”

“Ibu sangat membenci kemungkinan yang bisa terjadi itu, sampai akhirnya ia menciptakan sebuah perjanjian dengan si pencipta lilin biru.”

Aku pikir lawan bicaraku ini sudah gila. Omongannya melantur ke sana kemari. “Aku harap kamu sedang bercanda, Kak.”

Kakak tertawa miris dengan air mata yang pecah. Hawa dingin semakin menusuk di halaman depan rumah kami yang tidak terasa seperti rumah. Asing.

“Jadi, maksudnya, ibu berniat memperpanjang umurnya dengan mengorbankan kita berdua?”

Kakak mengangguk, “delapan tahun sekali. Setiap delapan tahun sekali dalam 16 tahun seharusnya masing-masing dari kita satu-persatu kehilangan nyawa, Arum.”

“Tapi, saat mecapai delapan tahun pertama, ibu melanggar perjanjian yang ia buat sendiri.”

Aku terbelalak, “ibu mau melindungi kita.”

“Entahlah. Entah apa yang telah ibu perbuat hingga dapat menciptakan takdir yang berbeda untukmu dan membuat ibu tetap kehilangan nyawanya.”

                “Ibu tidak bersalah, Kak. Ibu mencoba melindungiku. Kematian ibu terjadi di tahun yang sama dengan lumpuhnya kakiku, kan? Aku paham sekarang,” teriakku kencang hampir menangis.

            “Ini tidak sesederhana yang kamu pikirkan, Arum.”

            “Ibu.. walaupun perjanjian itu akhirnya gagal dan hanya mengakibatkan kelumpuhan pada kedua kakimu, sihir tumbal itu masih belum berakhir.”

            “Delapan tahun yang kedua, tahun ini giliranku.”

            Oh tidak.

            Kugenggam kedua tangan kakak yang memerah. “Tidak, tidak lagi. Aku tidak akan kehilangan kakak lagi untuk yang kedua kali. Kita bisa memutus sihir itu bersama, Kak.”

            “Aku sudah mencoba, Arum. Dua tahun ini aku terus mencoba, nihil hasilnya.”

            “Kita bisa mencoba lagi!” kataku.

            Air mata kakak semakin deras mengalir. Membayangkan kematian datang di hadapan kita, itu hal yang menyakitkan.

            “Di hari aku memutuskan untuk pergi dari rumah, aku datang ke tempat ini dengan menyalakan dua lilin biru itu. Aku tau kamu juga melakukan hal yang sama hingga kamu bisa sampai di sini.”

            Benar, ini aneh. Tempat ini benar-benar berwujud seperti rumah kami namun terasa jauh berbeda suasana dan hawa yang ada. Juga, di sini aku dapat berjalan dan berlari dengan normal seperti manusia pada umumnya.

            “Tempat apa ini, Kak?”

            Kakak menghela napas panjang, “anggap saja ini dunia di balik dunia kita yang sesungguhnya. Dunia di mana ibu melakukan perjanjian dengan pencipta lilin biru.”

            “Lalu, apa saja yang kakak coba lakukan selama ini? Dua tahun itu waktu yang tidak seben-” kata-kataku terpotong oleh kakak.

            “Tidak ada waktu untuk menjawab semua itu, Arum. Masaku hampir selesai dan kamu harus segera kembali ke dunia nyata, atau kamu akan terjebak selamanya di sini.”

            Kakak lagi-lagi menggenggam salah satu tanganku dan dibawanya diriku berjalan entah ke mana tujuannya. Aku hanya bisa membututi kakak di belakang dan merasakan sakitnya cengkeraman tangan kakak yang begitu kuat.

            “Maafkan aku, ya. Berat bagiku meninggalkanmu kala itu. Tapi, aku berhasil percaya padamu dan kamu membuktikan bahwa aku benar, Adikku.”

            Diam. Aku hanya bisa diam menahan sesak di dadaku. Kenapa dunia begitu kejam kepada kami semua?

            “Kali ini pun, aku bisa mempercayaimu lagi, kan?”

            Langkah kami terhenti.

            “Apa tidak bisa aku ikut denganmu saja, Kak?”

            Kakak tersenyum merapikan poniku yang berantakan, “tidak, Arum.”

            “Biarkan dunia ini berjalan dengan sendirinya. Tidak perlu mengubah takdir, Tuhan sudah menyiapkan rencana terbaik untuk masing-masing makhluknya.”


.


Rahasia Lilin Biru - Laura Thania XI MIPA 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar