Sepertiga Malam

Seminggu berlalu. Semenjak kepergian nenekku, semuanya terasa berbeda. Pagi ini, kulihat kakek duduk di sofa. Wajahnya sangat murung. Tatapannya pun kosong.

“Kakek kenapa? Kok murung gitu?” tanyaku.

“Ngga papa ko,” jawab kakek seraya meninggalkanku.


Sebenarnya tak perlu ditanya juga aku sudah tahu apa alasannya. Kakek pasti sedih dan kehilangan sosok nenek. Sosok yang sangat setia menemaninya, bahkan sampai akhir hidupnya.


Tadi aku melihat Jingga, cucu kesayangan kakek mengajak kakek bermain. Namun, kakek hanya tersenyum kecil. Sungguh hal yang tak biasa. Biasanya juga kakek makan dengan sangat lahap. Namun sekarang, makan saja hanya dua kali sehari atau bahkan sekali. Kakekku yang sekarang, bukanlah kakekku yang dulu. Dulu kakek selalu ceria, selalu makan dengan lahap, dan selalu senang bermain dengan cucu cucunya. Meski begitu, kita semua memaklumi perubahan yang terjadi pada kakek.


Sorenya, papa mengajak kakek ke pengajian. Dengan harapan mungkin isi dari ceramahnya bisa meminimalisir kesedihan yang dialami kakek. Hmm ada ada saja papaku ini. Tapi, menurutku ini ide yang bagus untuk mengisi waktu luang kakek. Lebih baik digunakan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, kan?


Keesokan harinya, aku terbangun. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Aku melihat kakekku mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat tahajud. Kemudian dilanjut dengan shalat subuh di masjid. Apa yang terjadi pada kakek? Tidak seperti biasanya. Biasanya saja kakek baru bangun saat adzan subuh berkumandang. Setelah melaksanakan shalat subuh, kudengar suara dari dapur.

“Ada makan apa?” tanya kakek.

“Ini, lontong campur resep almarhum nenek,” jawab mama.


Terlihat senyum sumringah di wajah kakek. Tampaknya, sifat kakek yang selalu ceria sudah kembali. Aku rasa, kakek sudah bisa menerima semuanya. Kakek makan lontong campur itu dengan lahap. Setelah sarapan, kakek melakukan aktivitas seperti biasa.


Aku senang dengan perubahan sifat kakek. Lebih tepatnya aku senang karena sifat kakek telah kembali. Tapi aku heran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada kakek. Akhirnya aku bertanya pada papa.

“Pa, kakek ko tiba tiba berubah ya. Habis dari pengajian itu ya?” tanyaku.

“Oh iya. Kemaren isi ceramahnya tentang shalat tahajud sebagai penyejuk hati,” jawab papa.


Kini aku tahu, pasti hati kakek tergerak untuk melaksanakan shalat tahajud karena mendengar ceramah itu. Aku senang, kakek jadi lebih rajin lagi sekarang. Kini semuanya kembali seperti semula. Bahkan lebih baik dari sebelumnya, meski tanpa adanya nenek.


Keesokan harinya, aku terbangun. Ya, seperti biasa jam tiga dini hari. Aku bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat tahajud. Setelah itu aku keluar rumah untuk menghirup udara segar. Aku berdiri di pinggir danau menatap bintang bintang. Di antara bintang bintang itu, kulihat sinar bulan yang masih terang. Hal itu membuatku teringat akan suatu hal. Aku yakin, nenekku sedang memperhatikanku di atas sana. Kuambil kertas dan pena yang ada di kantongku. Kutulis semua yang ingin kucurahkan dalam kertas itu.


Nenek, aku sangat merindukanmu. Andai saja nenek tidak pergi secepat ini. Ntah mengapa semenjak kepergianmu, aku sangat menyukai bulan. Bulan di atas sana sepertimu. Bersinar terang bagaikan cahaya. Di tengah gelapnya langit malam bagai penerang. Aku memang tak selalu bisa melihatmu. Tapi aku tau, kau akan selalu datang untuk tepati janjimu.


Kelar sudah tulisan yang kubuat. Kulipat kertas itu menjadi sebuah perahu. Yap, perahu kertas. Kulayarkan perahu kertas itu di danau. Perlahan, perahu kertas itupun menghilang.


Savila Nur Fadilla

XI MIPA 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar